꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑ ꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑

Ei masih ingat bahwa Makoto sangat menyukai pemandangan di Inazuma, makanan lezat, dan cerita-cerita tentang manusia. Saking sukanya terhadap semua hal itu, Makoto bisa bertukar pikiran dengan Ei tanpa henti-hentinya. Meskipun mereka berdua memiliki pemahaman yang sama tentang "keausan" waktu, Makoto lebih memilih untuk berfokus kepada "masa kini" ketimbang Ei yang lebih gelisah terhadap "masa depan". "Justru kalau kita paham bahwa momen ini tidak selamanya ada, kita harus benar-benar lebih menghargainya." Kala itu, Ei yang adalah seorang kagemusha hanya bisa tersenyum kecut sambil merenungkan kalimat tersebut, dia menyadari bahwa dirinya ternyata lebih kaku daripada sang Raiden Shogun. Sebenarnya dia juga kerap kali mengintrospeksi diri sendiri, dan ingin belajar menjadi seperti Makoto yang mampu lebih tenang. Namun datangnya hari perubahan itu terlalu cepat, dan Ei sama sekali belum siap akan hal itu. Tanpa pernah dia sadari sebelumnya, tangan Ei kini menggenggam pedang sekarat yang diberikan oleh Raiden Makoto kepadanya. Itulah hari di mana kagemusha Ei berubah menjadi "Raiden Shogun" yang sesungguhnya. Itulah juga hari di mana Ei sepenuhnya memahami kepedihan yang disebabkan oleh "keausan" waktu. Kalau hidup hanya mengikuti arus waktu yang terus bergulir, bahkan pedang dan sakura ini ... bahkan Inazuma sekalipun cepat lambat akan sirna dari pandanganmu. Inilah fondasi dari Inazuma sekaligus hal yang harus dijaga oleh sang "Raiden Shogun". "Dari sudut pandang ini, berpikir jauh ke depan bukanlah sesuatu yang sia-sia dan berlebihan." Dia kini tersadar bahwa hanya dengan cara meninggalkan tubuh saja, keabadian itu dapat dicapai.
꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ ⭑꒷꒦︶꒷꒦︶ ๋ ࣭ Document
Suatu malam di tengah-tengah meditasinya, Ei melarikan diri ke dalam suatu mimpi yang indah. Dalam mimpinya itu, seakan-akan hanya tersisa dirinya yang berada di antara langit dan bumi, dengan "diri"nya yang lain yang tampak seperti bayangan dalam cermin. Boneka berbisik ke telinganya, "Kalau 'Keabadian' yang diyakini dalam hatimu adalah Keabadian yang didorong oleh ribuan 'harapan' orang-orang, maka kamu sudah menjadi musuhku." Semenjak awal ketika Ei menciptakan boneka itu, Ei sudah memperhitungkan semua potensi bahaya yang bisa saja muncul karenanya. Dia percaya bahwa segalanya mungkin saja terjadi, dan ini artinya tidak menutup kemungkinan kalaupun kasus terburuknya bahkan... dirinya sendirilah yang menjadi ancaman untuk "Keabadiannya" suatu hari nanti. Namun bagaimanapun, dia harus tetap maju dan merengkuh "Keabadian" itu. Dan tekad ini tidak boleh terbendung oleh kekuatan apa pun di luar dirinya. Kata-kata yang diucapkan oleh boneka itu berasal dari masa lalu, itulah pertanyaan dan siksaannya terhadap dirinya sendiri: "Kamu pikir dirimu yang sekarang lebih bertekad daripada dirimu di masa lalu, sehingga kamulah yang benar?" "Memangnya kamu punya ide baru atau jangan-jangan kamu justru sudah mengalami sendiri "keausan" dari waktu yang sangat menyiksa?" Wajah yang sama, namun ternyata menunjukkan keinginan yang berbeda. Pertempuran antara diri sendiri yang sekarang dan yang dulu cepat lambat akan datang menghampiri. Namun hari ini belumlah tiba waktunya. Ei tahu persis bahwa persiapannya belum juga usai. Dia yang jernih hatinya, tahu akan batasan dirinya. Tidaklah mungkin bagi dirinya untuk tetap melangkah, sementara masih didengarnyalah jeritan orang-orang yang memohon pertolongannya. Kini sudah bukan lagi masanya, di mana diriku tidak ada dan suaraku tidak terdengar. Saat fajar menyingsing, saat itulah sang samurai perempuan menggenggam pedangnya. Mimpi ini terasa seperti ilusi, tapi juga terasa nyata, sama seperti gelembung.
Bootstrap demo